SUMEDANG,– Menjelang di akhir jabatannya, Ridwan Kamil sebagai Gubernur melakukan rotasi dan mutasi pada 91 jabatan struktural.
Menurut politikus Partai Gerindra, H. Syahrir .,SE.,M.I.Pol, hal ini menjadi bahan diskusi dan pertanyaan elit politik maupun masyarakat Jawa Barat sehingga cenderung menjadi sebuah kegaduhan yang diwariskan Ridwan Kamil sesaat sebelum meninggalkan jabatannya sebagai Gubernur Jawa Barat.
“Sebetulnya kegiatan mutasi dan rotasi merupakan fenomena yang biasa terjadi dalam organisasi pemerintahan. Mutasi dapat dikatakan sebagai suatu perubahan posisi atau jabatan atau tempat atau pekerjaan yang dilakukan pimpinan puncak organisasi (kepala daerah) kepada seseorang yaitu aparatur pemda baik secara horizontal maupun vertikal (promosi/demosi) dalam satu organisasi pemerintahan,” ungkap Syahir, melalui siaran persnya, Minggu (3/8/2023).
Sementara rotasi, kata Syahir, merupakan perpindahan pegawai namun lebih pada perpindahan tempat kerja dengan lingkup dan tugas pekerjaan yang cenderung berbeda agar para pegawai terhindar dari rasa jenuh atau produktifitas yang menurun.
“Mutasi dan rotasi merupakan bagian dari pengembangan sumberdaya manusia (SDM). Tujuannya adalah untuk meningkatkan kompetensi pegawai, mengembangkan motivasi, meningkatkan pengetahuan dan pengalaman kerja, mutu proses pekerjaan dan produktifitas serta efisiensi organisasi,” jelasnya.
Selain itu, masih kata Syahrir, promosi merupakan bentuk apresiasi jika seseorang memiliki kinerja di atas standar organisasi dan berperilaku sangat baik yang diwujudkan dalam bentuk kenaikkan karir.
“Saya memiliki pendapat bahwa Ridwan Kamil sebelum meninggalkan jabatannya sebagai Gubernur Jawa Barat sebaiknya tidak mengganti atau memindah pejabat aparatur sipil negara (ASN) di lingkup pemerintahan daerah Jawa Barat, kecuali pejabat yang pensiun atau meninggal dunia. Hal itu bertujuan untuk menjaga ketenangan birokrasi pemerintahan dan bukan menyebabkan tsunami birokrasi di daerah,” ujar dia.
Selain itu, imbuhnya, penggantian atau pemindahan pejabat struktural yang dilakukan saat akhir jabatan kepala daerah, menimbulkan praduga, serta mengganggu produktivias dan kinerja para ASN.
“Padahal ASN adalah aset pemerintah yang harus dijaga karirnya, apalagi dalam masa tahun politik menjelang Pilpres dan Pemilu. Pada tahun politik menjelang Pilpres dan Pemilu, ASN mendapatkan tugas pokok menjadi motor penggerak suksesnya penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu melalui netralitasnya sekaligus menjalankan pembangunan ekonomi nasional, dan melaksanakan roda pemerintahan,” katanya.
Menurut Syahrir, Ridwan Kamil untuk taat pada aturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya terkait pemindahan atau penggantian pejabat ASN di masa akhir jabatan.
“Berdasarkan Pasal 71 ayat 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2016, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota yang menjelaskan bahwa Kepala Daerah dilarang melakukan penggantian pejabat 6 bulan sebelum habis maja jabatannya, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri,” terangnya.
“Norma ini dibuat dengan tujuan untuk menjaga birokrasi tetap tenang bekerja, fokus pada pelaksanaan program dan kegiatan. Mutasi atau pergantian pejabat tidak relevan dilakukan untuk membantu memenangkan kontestasi Pemilu dan Pilpres. Kepala daerah tetap boleh memindahkan atau mengganti pejabat, dengan mentaati aturan hukum yang berlaku.”
“Walaupun boleh memindahkan atau mutasi, namun jangan sampai ada ASN yang nonjob (tidak punya jabatan) kecuali memenuhi syarat untuk dinonjobkan,” kata Syahrir.
Syahrir mengatakan, manuver Ridwan Kamil menjelang akhir masa jabatannya sebagai Gubernur Jawa Barat dapat berujung menjadi wacana interpelasi dari anggota DPRD Provinsi Jawa Barat karena proses rotasi dan mutasi ini dinilai merugikan pejabat. Saya berpendapat bahwa manuver Ridwan Kamil ini kurang etis serta mempertanyakan latar belakang dan keabsahan dari kebijakan mutasi tersebut serta apakah sudah sesuai aturan atau tidak.
“Hal ini bisa menjadi dasar anggota DPRD Provinsi untuk mengajukan hak interpelasinya. Melalui usulan interpelasi itulah diharapkan bisa menjadi ruang agar Ridwan Kamil bisa secara gamblang memberi penjelasan sehubungan DPRD Provinsi tidak punya data terkait kinerja pegawai yang mengalami mutasi maupun rotasi,” katanya.
Terkait dengan permasalahan mutasi dan rotasi di atas, menurutnya sudah seharusnya pihak DPRD Provinsi Jawa Barat untuk melakukan interpelasi terhadap Ridwan Kamil.
Hak Interpelasi merupakan hak DPRD untuk meminta keterangan kepada pemerintah (eksekutif) mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta di dalam bernegara.
“Hak interpelasi tercantum dalam Pasal 20A UUD 1945. Pasal tersebut memberikan hak kepada anggota DPR/DPRD, yang diatur lebih lanjut dengan ketentuan dalam Undang- Undang Lembaga Legislatif No. 17/2014, yang dikenal sebagai UU MD3. Interpelasi memberikan hak bagi anggota DPR/DPRD untuk memaksa pemerintah untuk menjelaskan kebijakan yang dilakukan,” papar dia.
Menurutnya, langkah ini perlu mendapatkan dukungan lebih lanjut saat pengajuan hak interpelasi di bahas dalam rapat paripurna sampai pihak Gubernur mampu menerangkan dan menjawab permasalahan kebijakan yang dimasalahkan secara jelas, transparan dan terperinci. (Abas)