JAKARTA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kepton, La Ode Zulfikar Nur, SH, MH yang ditunjuk sebagai Direktur Kuasa Perwakilan Kelompok Eks Pengungsi Maluku/Maluku Utara kembali mendesak agar pemerintah menjalankan putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap terkait hak yang harus dipenuhi oleh pemerintah kepada masyarakat yang berstatus sebagai eks pengungsi.
Desakan ini sesuai dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2003 tentang Percetapan Pemulihan Pembangunan Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara.
Faktanya, bagi masyarakat Eks Pengungsi Maluku dan Maluku Utara, anggaran yang diberikan pemerintah pusat tersebut belum mencukupi serta belum terjadi pemerataan buat Eks Pengungsi Maluku/Maluku Utara.
Hal tersebut membuat masyarakat beberapa kali meminta pemerintah
pusat/pemerintah daerah untuk menambahkan anggaran bahan bangunan rumah (BBR) dan uang tunai.
“Celakanya, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tidak menanggapi. Hal inilah yang membuat masyarakat menggugat ke pengadilan dan meminta kami
sebagai kuasa hukum perwakilan kelompok dan oleh pengadilan atas kemenangan dari masyarakat melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hingga Keputusan Mahmakah Agung Peninjauan Kembali Nomor 451/PK/Pdu/2019 jo Putusan Kasasi Nomor 1950 K/PDT 2016 jo,” jelasnya.
“Putusan Pengadilan Tinggi Nomor 116/PDT/2015/PT DKI. jo. Putusan Pengadilan Negeri Nomor 318/PDT.G.Class Action/2011/PN JKT PST. Dan oleh Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah berkekuatan hukum tetap, di antaranya menyatakan bahwa bantuan yang mesti diterima oleh masyarakat eks pengungsi Maluku Maluku Utara adalah sebesar Rp18.500.000 per kepala keluarga,” ujar La Ode, dalam keterangannya, Senin (11/9/2023).
Dengan demikian, sambung La Ode, jika masyarakat Eks Pengungsi Maluku Maluku Utara baru menerima bantuan sebesar Rp 10.000.000., maka masih memiliki hak untuk mendapatkan sisa bantuan Rp 8.500.000.
Kemudian, jika masyarakat Eks Pengungsi Maluku Maluku Utara baru menerima bantuan sebesar Rp8.500.000, maka masih memiliki hak untuk mendapatkan sisa bantuan Rp 10.000.000 dari pemerintah pusat.
Selanjutnya, jika masyarakat eks Pengungsi Maluku Maluku Utara baru menerima bantuan sebesar Rp3.500.000, maka masih memiliki hak untuk mendapatkan sisa bantuan Rp15.000.000 dari Pemerintah Pusat Kementerian Sosial RI yang diperintahkan oleh lembaga peradilan untuk menjalankan isi putusannya.
“Ketika Menteri Sosial Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 124/HUK/2021 Tentang Tim Panel Penanganan Pengungsi Kerusuhan Maluku, sampai dengan dibuatnya surat ini, tim Panel/Kementerian Sosial RI belum juga membuat progres yang ditandai dengan belum adanya informasi yang bisa kami akses tentang sejauh mana langkah-langkah kongkrit Tim Panel yang dipimpin oleh Kementerian Sosial dalam membayar ganti rugi yang tidak dibayarkan Kementerian Sosial, sebagai hutang Kementerian Sosial Republik Indonesia kepada masyarakat Indonesia khususnya yang menjadi korban konflik sosial di Maluku-Maluku Utara tahun 1999,” paparnya.
Padahal, tindak lanjut dari Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 124/HUK/2021 Tentang Tim Panel Penanganan Pengungsi Kerusuhan Maluku di atas merekomendasikan lahirnya Tim Teknis yang akan bekerja secara teknis di lapangan dalam pembagian dana bantuan kepada masyarakat korban konflik sosial Maluku-Maluku Utara tahun 1999.
“Adapun kuasa dari para wakil kelompok 1, kelompok II dan kelompok III rencananya akan dilibatkan oleh Kementerian Sosial RI di dalam Tim Teknis tersebut, yang mana sampai saat ini tim teknis yang dijanjikan itu belum juga dibentuk,” tegas La Ode.
“Jika keadilan lewat lembaga peradilan tertinggi di negeri ini sudah tidak bisa dipercaya, kepada siapa kami harus menuntut keadilan?” La Ode kembali menegaskan. ***