Oleh: Idat Mustari
Seperti diketahui kampanye Pilkada telah berlangsung sejak beberapa waktu lalu. Masing-masing Paslon dengan para jurkamnya, telah pula mengedepankan pelbagai rencana program yang akan diekskusi sekiranya nanti mereka terpilih jadi Kepala Daerah.
Hampir dalam waktu yang bersamaan pula masyarakat sedikit paham (untuk tidak mengatakan samar-samar) mau ke arah mana akan dibawa para Paslon lima tahun ke depan.
Akan tetapi perlu dicatat. Hasil amatan empirik penulis, selain perilaku para kampanyewan tampak masih konsisten dengan aturan yang disepakati. Ada juga yang tidak taat asas. Alias telah keluar dari koridor. Mereka tidak lagi berpegang pada “pakem” kegiatan kampanye, sebagai wahana pendidikan politik masyarakat.
Maka untuk hal amat penting ini, kita himbau alangkah elok kalau masing-masing kontestan melakukan introspeksi, agar sadar diri, untuk kemudian kembali ke jalur yang benar, sesuai aturan legal dan tuntutan etik moral.
Bahwa, kemungkinan adanya kritik atas gagasan lawan, sepedas apapun sifatnya tidak soal. Yang demikian itu suatu indikasi bahwa demokrasi berjalan sehat. Malahan dengan adanya kontra argumentasi, pada gilirannya dapat meningkatkan kecerdasan para atau bakal calon pendukung. Kampanye yang besifat diskursus tersebut, akan lahir suatu kebenaran dengan basis keilmuan yang kokoh.
Sekali lagi, elok kalau kampanye Pilkada sarat dengan dirkursus intelektual. Saling mengritisi program dan wacana lawan. Tetapi dengan catatan harus tetap dalam kendali diri yang prima. Sebab jika sedikit saja kendali ini kendur, maka pasti kampanye akan berlansung secara emosional-konfrontatif.
Di sini akan penulis kedepankan salah contoh kampanye yang lepas kendali dan emosional. Yakni, menyerang dengan mengungkapkan kekurangan fisik lawan. Dengan kata lain, upaya mendiskreditkan kondisi fisik seseorang. Misalnya kata “pendek “yang ditujukan pada seorang calon kepala daerah yang dianggap jadi lawannya.
Padahal dilihat dari perspektif Islam, terang saja perilaku seperti itu tidak dibenarkan. Dengan kata lain perlu dijauhi. Sebab yang demikian itu pada identik dengan menggugat Penciptanya. Na`udzu billah.
Setiap muslim diingatkan oleh peristiwa ketika Rasulullah SAW menegur Abu Dzar al-Ghifari gara-gara ketika berselisih paham dengan Bilal mengucapkan, “Dasar, kulit hitam!” Bilal sangat tersinggung mendengar ucapan itu. Ia datang kepada Rasulullah SAW dan mengadukannya.
Mendengar hal itu, rona wajah Rasulullah SAW berubah dan bergegas menghampiri Abu Dzar. Lalu berkata, “Sungguh dalam dirimu masih terdapat Jahiliyah!” Sampai kemudian Abu Dzar bukan saja meminta maaf kepada Bilal, bahkan meminta Bilal menginjak wajahnya. Tentu saja Bilal tidak melakukannya.
Oleh karena itu seyogiyanya kampanye dengan pelecehan seperi itu, jelas tak boleh terjadi lagi. Bagi pelakunya minta maaflah, bertaubatlah sebab pasti sanksi eskatologis kelak di Akhirat telah menanti. Percaya kepada hari akhir merupakan rukun iman bagi seorang muslim.
Sekali lagi jika berkampanye gunakan pendekatan rasional-persuasif, sebab ini lebih elegan dari pada kampanye emosional konfrontatif.