BANDUNG, — Sidang skandal korupsi pengadaan lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan terdakwa Dadang Suganda, kembali bergulir di PN Tipikor Bandung Jalan LL RE Martadinata (07/01/2021).
Pada sidang yang berakhir hingga pukul 22.00 WIB tersebut, jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan enam orang saksi Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemkot Bandung, Wagiyo, Irman, Ivan Hendriawan, Dodo Suanda, Yaya Sutaryadi, dan Tatang Muchtar.
Nama disebut terakhir, Tatang Muchtar, adalah mantan Camat Cibiru yang saat ini menjabat sebagai Kepala Disdukcapil Kota Bandung. Sebelumnya, Tatang juga sempat diperiksa KPK untuk terdakwa Kadar Slamet, Tomtom Dabbul Qomar, dan Herry Nurhayat.
Nyaris sama dengan pemeriksaan sebelumnya, jaksa KPK memberondong Tatang dengan tugas pokok dan fungsinya selaku koordinator aparat kewilayahan (Camat Cibiru-red). Termasuk kewenangan dia selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Dijelaskan Tatang, dia menjabat Camat Cibiru sejak tahun 2009 hingga tahun 2014.
“Saya pertama tahu tentang RTH saat diundang rapat oleh Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (Distarcip) tahun 2011,” ujarnya.
Diakui Tatang, pada tanggal 12 Februari tahun 2010, dia pernah mengajukan surat tentang penyelamatan sumber mata air kepada Pemkot Bandung. Dia mengira itu tidak terkait dengan RTH.
“Belakangan baru saya tahu itu terkait RTH. Saya mengajukan surat permohonan itu karena jika sumber mata air bisa dikuasai pemkot, tentu akan sangat membantu pemberdayaan masyarakat,” kata Tatang.
Diakui, untuk lahan pertanian tahun 2011 dia tidak membuat surat usulan. Namun dia sempat mengadakan rapat sosialisasi mengenai itu di Cisurupan.
“Saat sosialisasi itu saya mengenal terdakwa Dadang Suganda, beliau salah satu pemilik lahan. Sebelumnya sudah tahu beliau, dia pengusaha, punya toko bangunan juga,” sebutnya.
Tatang menampik pernah menerima pemberian uang dari terdakwa.
“Saya tidak pernah menerima pemberian apapun dari Pak Dadang atau yang lainnya,” ujar Tatang.
Saksi lainnya Wagiyo, mengaku kenal dengan Dadang Suganda tahun 2012 karena sering datang ke kantornya di Bagian Aset DPKAD Kota Bandung. Wagiyo merupakan sekretaris yang bertugas membantu PPTK Hermawan.
Saat dicecar oleh jaksa Haerudin, Wagiyo mengaku bahwa proses musyawarah pembelian tanah hanya merujuk pada harga tahun sebelumnya.
“Berarti saudara membuat berita acara musyawarah fiktif. Apa itu diketahui oleh pengguna anggaran (PA)?” tanya Haerudin.
Wagiyo menjawab, kepala dinas selaku PA mengetahui keberadaan berita acara musyawarah fiktif tersebut. Wagiyo juga mengakui pemkot lebih banyak membeli lahan bukan dari pemilik langsung.
“Sertifikat yang diserahkan Dadang Suganda lebih banyak atas nama orang lain. Kalau soal pembelian tanah yang berada di luar penetapan lokasi (penlok), saya diarahan Hermawan selaku PPTK,” sebut Wagiyo.
Keterangan Wagiyo terkait berita acara musyawarah fiktif, dibantahkan penasihat hukum Dadang Suganda, Anwar Djamaludin SH MH.
Kata Anwar, keterangan Wagiyo bertentangan dengan keterangan tiga saksi lainnya, Tatang Muchtar, Yaya Sutaryadi dan Dodo Suanda.
“Itu terbantahkan, keterangan tiga saksi lainnya jelas-jelas menyebut menghadiri rapat dan menandatangani berita acara musyawarah,” ujar Anwar, usai sidang di halaman PN Tipikor Bandung.
Diketahui, selain dugaan tindak pidana korupsi, KPK juga menjerat Dadang Suganda dengan Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam dakwaannya, jaksa menyebut seluruh harta kekayaan Dadang Suganda yang disembunyikan, disamarkan, dialihkan hak-hak ataupun kepemilikan yang sebenarnya, tetap milik yang bersangkutan.
Kekayaan Dadang ditempatkan pada rekening-rekening, digunakan untuk membeli tanah, rumah, bangunan, kendaraan bermotor, serta perbuatan lain atas harta kekayaan, yang jumlah keseluruhannya mencapai Rp 87,7 miliar.
Sidang Dadang Suganda akan kembali digelar pada Selasa tanggal 12 Januari 2020 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. (DRY)