BANDUNG,– Dua tahun Pandemi Covid-19, para pelajar di Indonesia mengalami pembatasan pembelajaran tatap muka. Para siswa terpaksa melakukan aktivitas pembelajaran melalui online, rata-rata menggunakan aplikasi zoom meeting.
Plt Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbud RI, Drs. Zulfikri, M.Ed, menyebutkan, selama pandemi, pembelajaran anak-anak menjadi monoton, tidak ada aktivitas nyatanya.
Untuk itu pemerintah menerapkan Kurikulum Merdeka, sebagai wujud kepedulian kepada para siswa supaya bisa bangkit dari pandemi.
Bagaimana guru bisa menciptakan suasana belajar yang lebih baik dan kondusif bagi anak-anak. Kemudian secara filosofisnya, kurikulum merdeka ini lebih pro kepada anak.
“Kurikulum Merdeka merupakan pilihan dalam rangka pemulihan pembelajaran pasca pandemi Covid-19,” kata Zulfikri saat mengikuti Workshop Pendidikan, Sosialisasi Kurikulum Dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran di Hotel Grand Sunshine Resort & Convention Soreang, Bandung, Sabtu (12/11).
Karena selama pandemi Covid-19, menurutnya, para peserta didik telah merasakan kehilangan kesempatan belajar.
Untuk itu, kurikulum merdeka ini dirancang agar bisa lebih memberikan ruang untuk setiap anak agar reaktif bertumbuh dan berkembang. Sehingga, peserta didik atau anak-anak didorong untuk beraktifitas nyata di kehidupan sehari-hari.
“Rancangan kurikulum merdeka tersebut dibuat sesederhana mungkin. Dan bisa diterapkan dalam situasi seminim apapun,” katanya.
Masih ditempat yang sama, Anggota Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi, mendukung penerapan kurikulum merdeka bisa diterapkan pada 2.000 sekolah penggerak sebagai prototype sebelum diterapkan secara nasional keseluruhan.
Melalui kurikulum baru ini, Dede meminta pemerintah untuk melakukan pengurangan beban materi. Sehingga hampir 50 persen bobot pembelajaran bisa dikurangi. Karena selama dua tahun siswa merasa sudah terbiasa tidak terlalu terbebani kurikulum yang ada, karena belajarnya melalui online.
“Dari hasil survei Kemendikbud, learning lost (kehilangan semangat atau waktu pembelajaran) itu bisa diturunkan sampai 40 persen,” katanya.
Politikus Partai Demokrat ini mengatakan, kurikulum merdeka adalah kurikulum darurat. Pasalnya saat pandemi Covid-19 banyak keluhan dari masyarakat terutama yang terbebani dengan belajar online.
“Beberapa waktu lalu para siswa di Indonesia harus melakukan pembelajaran secara online saat pandemi Covid-19. Hal tersebut membuat pemerintah menggencarkan program kurikulum merdeka,” kata Dede.
Melihat hal itu, ia meminta pemerintah untuk melakukan pengurangan beban pembelajaran di sekolah. Sehingga hampir 50 persen bobot pembelajaran bisa dikurangi.
Dia menyebutkan, dalam penerapan kurikulum merdeka, sekolah penggerak yang sudah menerapkan kurikulum merdeka bisa dijadikan prototype. Kemudian setelah menghasilkan satu angkatan bisa langsung dilakukan evaluasi.
“Apakah angkatan ini hasil outputnya menjadi lebih baik dari pada yang lain, dibanding dengan angkatan yang menggunakan kurikulum yang lain atau malah sama saja,” ujarnya.
“Kalau memang baik, maka kita akan dorong secara bertahap agar dilakukan secara masif, artinya dilakukan untuk seluruhnya, dengan cara adopsinya peperlahan-lahan,” Dede melanjutkan.
Menurutnya, kondisi infrastruktur ditiap daerah berbeda-beda. Masih ada daerah sarana dan prasarananya serta infrastrukturnya yang tidak memungkinkan mengejar apa yang ada di Kota besar. “Jadi membutuhkan effort dari Kementerian lainnya,” tambahnya.
Sehingga dengan cara seperti ini, penerapan kurikulum merdeka bisa dilakukan secara bertahap dan dilakukan evaluasi untuk menutupi kekurangan yang ada sebelum diterapkan secara nasional. (abas)