BANDUNG,– Daerah pertanian di Jawa Barat didominasi lahan tadah hujan, sehingga keberadaan embung dianggap diperlukan untuk lahan pertanian yang tidak terlewati jaringan irigasi.
Embung atau tandon air, juga merupakan salah satu pilihan rasional untuk daerah tadah hujan saat musim kemarau, mengingat teknologinya sederhana, biaya relatif murah dan dapat dijangkau oleh petani. Maka sudah sewajarnya system pengairan alternatif ini jadi program prioritas pemerintah.
Banyak manfaat dari keberadaan embung ini. Selain untuk pengairan lahan pertanian, embung juga bisa dijadikan sebagai tempat beternak perikanan air tawar.
System pengairan inilah menurut Anggota Komisi 4 DPRD Jawa Barat, H. Kasan Basari, yang harus dipikirkan pemerintah sebagai system pengairan alternatif, untuk memenuhi kebutuhan lahan pesawahan yang tidak bisa dilewati oleh irigasi dan lahan tadah hujan.
“Ini pilihan bagus bagi pemerintah. Sebagai system pengairan alternative, dalam upaya memenuhi kebutuhan para petani. Khususnya daerah yang tidak terlewati oleh irigasi. Dan juga daerah tadah hujan saat musim kemarau,” ujar H. Kasan Basari, belum lama ini.
Memang di sejumlah daerah sudah ada memiliki sejumlah embung. Namun masih belum memenuhi kebutuhan pertanian, khususnya bagi daerah pertanian yang tidak terlewati saluran irigasi.
Selain itu, jumlahnya juga masih belum memenuhi kebutuhan, sehingga masih banyak daerah pertanian yang sangat membutuhkan system pengairan embung atau danau buatan ini.
“Sudah ada sejumlah daerah yang membangun embung ini. Namun keberadaan dan jumlahnya masih belum maksimal. Belum memenuhi kebutuhan bagi daerah yang tidak terlewati irigasi,” ungkapnya.
Sementara itu untuk daerah rawan banjir, embung atau danau buatan ini juga cukup bermanfaat dalam menyelesaikan permasalahan banjir yang tiap tahun menerjang sejumlah daerah, seperti kawasan Bandung Selatan.
Pemerintah daerah sudah saatnya untuk memikirkan dan membuat grand desain dan menginventarisir, daerah mana saja yang harus secepatnya jadi prioritas untuk dibangun danau buatan ini, sebagai alternative system pengairan.
“Sebagai system pengairan alternative, pemerintah daerah sebaiknya melakukan inventarisasi, daerah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibangun embung,” sarannya.
Ketimpangan yang terjadi selama ini, antara jumlah irigasi dengan luas area lahan pertanian, memang menjadi kendala bagi para petani, apalagi saat datang musim kemarau.
Sementara itu, pembahasan masalah irigasi tidak akan pernah lepas dari kualitas air, jaringan, debit air dan pemanfaatan air. Berbicara masalah kualitas air irigasi, semakin hari semakin menurun.
Hal ini tidak lepas dengan banyaknya pabrik yang membuang limbah ke daerah irigasi. Termasuk kotoran ternak, rumah tangga juga masuk irigasi.
“Sehingga kualitas irigasi semakin rusak. Akhirnya, air irigasi untuk mengairi air ke tanaman pertanian juga terganggu,” jelasnya.
Belum lagi masalah debit air yang menurun. Hal ini tidak lepas dari kerusakan hutan. Belum lagi masalah kebocoran dari irigasi itu sendiri. Sehingga air yang tertampung dan mengalir melalui irigasi berkurang.
Tingkat kerusakan jaringan irigasi makin parah, terutama di irigasi yang bersinggungan dengan sungai. Irigasi yang ada di daerah terjal, seperti pegunungan tebing terjal dan rawan longsor.
“Ini akan jadi kendala. Ini berimbas pada panen petani. Daerah irigasi hulu, panen maksimal dua sampai tiga kali. Tetapi di hilir, tidak bisa panen sampai tiga kali seperti diwilayah hulu,” ungkapnya.
Terpenuhinya system pengairan yang memadai, jelas sangat bermanfaat bagi pertanian. Dan ini tentunya sangat mendukung terhadap program ketahanan pangan yang selama ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah.
“Sehingga pengairan ini juga, harus menjadi isu penting dalam upaya menjalankan kedaulatan pangan,” pungkasnya. (el)