BANDA ACEH,– Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah menjamin hak-hak masyarakat adat melalui norma dasar yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945, hingga menjadi asal-usul terbentuknya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) juga mempunyai peran dalam menjamin kepastian hukum melalui kegiatan penerbitan hak atas tanah untuk masyarakat adat melalui Hak Pengelolaan.
Staf Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Hukum Agraria dan Masyarakat Adat, Yagus Suyadi menjelaskan bahwa Kementerian ATR/BPN menjalankan 2 fungsi, yaitu land regulator dan land administrator.
Pada fungsi land regulator, Kementerian ATR/BPN melakukan penataan peraturan perundang-undangan dalam rangka memberikan dasar hukum yang pasti untuk pelayanan pertanahan.
“Tujuannya untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat pengguna pelayanan pertanahan,” jelasnya, pada kegiatan Simposium Nasional yang bertajuk “Dilema Masyarakat Hukum Adat di Indonesia”, di Aula Universitas Syiah Kuala, pada Kamis (25/08/2022).
Dalam fungsi Land Administration, Yagus Suyadi juga menjelaskan bahwa Kementerian ATR/BPN melaksanakan administrasi pertanahan atas kepemilikan bidang-bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia.
Ia menyebut, ini sebagai upaya mewujudkan kepastian hukum dan menerbitkan Sertipikat Hak atas Tanah sebagai tanda bukti kepemilikan yang kuat.
Oleh karena itu, Yagus Suyadi mengatakan, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa Hak Pengelolaan yang berasal dari tanah ulayat ditetapkan kepada masyarakat hukum adat.
“Ini memberikan perlindungan kepada masyarakat hukum adat. Bahwa masyarakat hukum adat dapat ditetapkan sebagai subjek Hak atas Tanah dari Hak Pengelolaan atas tanah ulayat,” imbuhnya.
Hal senada diungkapkan Tenaga Ahli Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Hukum dan Masyarakat Adat, M. Adli Abdullah yang juga hadir sebagai pembicara dalam simposium.
Ia mengatakan, permasalahan pengakuan masyarakat adat sudah tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, namun yang belum selesai adalah urusan penatausahaan masyarakat hukum adat.
“Hal ini seperti bagaimana masyarakat hukum adat mempunyai kewenangan yang bersifat publik, seperti mengatur, mengelola, dan mengawasi objek wilayah adatnya yang terkait dengan penggunaan, pemanfaatan, persediaan, dan pemeliharaan wilayah adat, dan ini sesuai dengan fungsi Hak Pengelolaan,” kata M. Adli Abdullah. (abs/yad)