BANDUNG, — Intonasi suara jaksa komisi rasuah Budi Nugraha, mendadak meninggi di ruang sidang PN Tipikor Bandung. Budi nampak kesal oleh jawaban berbelit dari sosok Kepala Badan Pengelola Pendapatan (BPPD) Kota Bandung, Iskandar Zulkarnaen.
“Saudara ini konyol sekali yah,” ujar Budi, pada sidang lanjutan dugaan rasuah dan pencucian uang Dadang Suganda, Kamis (17/12/2020).
Awalnya, Budi mencoba menelisik kesaksian Iskandar Zulkarnain yang saat itu (2010-red) masih menjabat sebagai Kepala Bidang Perencanaan Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (Distarcip) Kota Bandung. Budi mencecar peran Zulkarnaen seputar proses pembuatan peta penetapan lokasi (penlok) yang dinilainya jadi biang keladi terjadinya kasus dugaan korupsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Bandung 2011-2013.
“Yah, ada sebagian tanah yang tumpang tindih dalam penlok. Soal tidak adanya peta penlok di lampiran surat, saya tidak tahu,” ujar Zulkarnaen.
Dijelaskan, dia hanya membuat peta penlok berdasarkan surat permohonan dari Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD).
Dicecar jaksa, Zulkarnaen mengakui bahwa dia hanya meminta sketsa gambar dari DPKAD untuk dituangkan dalam surat permohonan penlok.
“Kalau soal siapa yang mengajukan surat permohonan, Kabid Aset Agus Slamet Firdaus atau Kepala DPKAD Herry Nurhayat, saya tidak memperhatikan. Saya tidak tahu,” ungkap Zulkarnaen.
Ditegaskan, dia melaksanakan tugasnya setelah ada disposisi dari kepala dinas. Berkali-kali dicecar jaksa, Zulkarnaen bersikukuh tidak pernah diintervensi siapa pun ketika membuat draft penlok.
“Saya tidak mendapatkan apa-apa, baik itu jabatan atau uang,” kata Zulkarnaen.
Diketahui, jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi menghadirkan lima orang saksi dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim T Benny Eko Supriyadi, Kamis (17/12/2020).
Kelima saksi itu, Kepala Badan Pengelola Pendapatan Daerah (BPPD) Kota Bandung Iskandar Zulkarnaen, mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya (Distarcip)Â Rusjaf Adimenggala, Kasie Penanganan Sengketa DPKP3 Tris Tribudiarti Isnaningsih, Pelaksana DPKP3 Asep Supriatna, dan Koordinator Seksi Pengukuran BPN Kota Bandung Asep Tatang.
Jaksa KPK Putra Iskandar sempat mencecar Rusjaf terkait dengan empat buah penlok yang dikeluarkan dalam waktu nyaris bersamaan pada bulan November 2012. Jaksa mencurigai penlok untuk pengadaan lahan SDN Cikadut, Kantor Kecamatan Antapani, RTH Palasari dan RTH Cisurupan tersebut, menyimpang dari prosedur yang ditentukan.
“Kenapa untuk keempat penlok itu yang mengajukan surat penlok nya seorang Kepala Bidang Agus Slamet Firdaus bukan kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD)?” tanya Putra.
Sempat beberapa lama diam, Rusjaf menjawab bahwa pihaknya hanya melihat institusi (DPKAD) yang mengajukan. “Begitu dapat surat itu dari staf, saya langsung proses tanpa melihat siapa yang menandatanganinya,” ujar Rusjaf.
Menurutnya, prosedur penlok berdasarkan permintaan atau usulan dari dinas terkait. DPKAD membuat surat usulan ke Distarcip, lalu ditindaklanjuti sesuai dengan lokasi yg diusulkan.
“Secara administrasi, penlok ditetapkan oleh Sekretaris Daerah. Distarcip hanya mengurus administratifnya,” ungkap Rusjaf.
Tak urung Rusjaf mengakui bahwa lokasi tanah yang dibeli Pemkot Bandung harus berada di dalam peta penlok yg sudah disetujui.
Jaksa Putra Iskandar lalu mengingatkan Rusjaf pernah menandatangani penlok RTH Mandalajati seluas 8000 m2 pada bulan Desember 2011.
Saat Jaksa mendesak apakah Rusjaf mengetahui siapa pemilik penlok dimaksud, Rusjaf mengaku tidak mengetahui bahwa seluruh lokasi tanah di peta penlok yang ditandatanganinya itu kepunyaan Dadang Suganda.
Sebagaimana diketahui, selain dugaan tindak pidana korupsi, KPK juga menjerat Dadang Suganda dengan Pasal 3 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo.Pasal 65 ayat (1) KUHPidana atau Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.
Dalam dakwaannya, jaksa penuntut menyebut bahwa seluruh harta kekayaan Dadang Suganda yang disembunyikan, disamarkan, dialihkan hak-hak ataupun kepemilikan yang sebenarnya, tetap milik yang bersangkutan.
Kekayaan Dadang itu ditempatkan pada rekening-rekening, digunakan untuk membeli tanah, rumah, bangunan, kendaraan bermotor, serta perbuatan lain atas harta kekayaan, yang jumlah keseluruhannya mencapai Rp 87,7 miliar. (DRY)