Bandung, — Komisi C DPRD Kota Bandung mengundang Peneliti Pusat Studi Komunikasi Lingkungan Universitas Padjadjaran Dr. Herlina Agustin, untuk membahas solusi masalah sampah, di Ruang Komisi C, Kamis, 7 November 2024.
Pertemuan itu dipimpin Ketua Komisi C Agus Hermawan, S.A.P., Wakil Ketua Komisi C, H. Agus Andi Setyawan, S.Pd.I., dan dihadiri Anggota Komisi C, H. Andri Rusmana, S.Pd.I., H. Sutaya, S.H., M.H., Yoel Yosaphat, S.T., Iqbal Mohamad Usman, S.I.P., S.H., serta Nunung Nurasiah, S.Pd.
Dalam paparannya, Herlina mengelompokkan sejumlah faktor yang pemicu persoalan sampah di Kota Bandung. Hal yang memengaruhi persoalan sampah yakni pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, pola konsumsi yang tinggi dan budaya konsumtif sekali pakai, hingga produksi sampah makanan yang begitu besar.
Di samping itu, persoalan sampah juga erat kaitannya dengan budaya dan kesadaran lingkungan yang masih rendah, keterbatasan alternatif pengelolaan sampah organik, serta dampak industri dan aktivitas komersial melalui kemasan-kemasan pemicu produksi sampah masif.
“Pemilahan sampah itu sulit. Industri juga harus bertanggung jawab atas produk dan kemasan yang memicu pola konsumsi publik sehingga menimbulkan sampah. Masyarakat juga harus bertanggung jawab tetapi pola reward dan punishment nanti harus dibuat dalam sebuah sistem,” tuturnya.
Permasalahan keterbatasan dan pemilahan sampah ini diikuti dengan kurangnya infrastruktur daur ulang dan bank sampah, di tengah persoalan TPA Sarimukti yang sudah melebihi kapasitas.
Selain soal sampah, Herlina juga menyinggung tentang ancaman krisis air yang dihadapi Kota Bandung. Saat ini terjadi penurunan tanah di beberapa titik di Bandung yang berkisar 5-10 sentimeter, juga 15-20 sentimeter per tahun.
Di daerah Gedebage, penurunan tanah berkisar 8-10 sentimeter per tahun. Kondisi ini diperburuk dengan wilayah tangkapan air di Bandung utara yang beralih fungsi. Padahal, diperlukan setidaknya lima ribu hektare ruang terbuka hijau (RTH) untuk menjadi resapan air di Kota Bandung.
“Land subsidence jadi indikator kerusakan air tanah yang berujung krisis air di Bandung. Pada 2050, air tanahnya akan habis dan terjadi subsidence. Hal kecil bisa dilakukan semisal dinas wajib pakai air daur ulang. Filterisasi air itu penting. Setiap kantor perlu ada untuk mengurangi pemakaian air berlebih,” ujar Herlina, yang juga dosen program studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran itu.
Anggota Komisi C, Andri Rusmana mengatakan, Kota Bandung tidak memiliki rencana induk sistem drainase. Dalam sisi kelembagaan di pemerintahan, komunikasi antardaerah juga lemah.
“Urusan lingkungan, banjir, sampah tidak bisa diselesaikan oleh satu dinas atau kota atau kabupaten. Ini harus kerja bersama. Jadi tidak boleh ada ego sektoral. Di kawasan utara sudah gundul parah. RTH kita sangat terbatas. Idealnya untuk Bandung perlu dipikikan edukasinya,” kata Andri.
Nunung Nurasiah menambahkan, pertemuan ini untuk menelusuri permasalahan lingkungan dan mencari pola ideal dalam penanganan polemic seperti sampah, di Kota Bandung.
“Walaupun di Kota Bandung ada Perda Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah tetapi kita masih dalam kondisi darurat sampah. Kita inginnya zero waste. Kalaupun sekarang ada progress pembangunan TPST di beberapa titik, ditambah lagi komunitas-komunitas penggerak, tetapi belum signifikan,” ucapnya.
Sementara C, Yoel Yosaphat berharap pertemuan ini bisa berlanjut menuju langkah-langkah terwujud agar setiap ancaman bencana ekologi bisa dihindari.
“Apa yang bisa dilakukan agar bisa mencegah hal itu terjadi. Kita tahu betapa berisikonya kehidupan kita dengan gaya hidup kita saat ini. Tetapi keadaan lingkungan kota dari tahun ke tahun tidak membaik. Tinggal menunggu waktu, apakah masih bisa diperbaiki?” tuturnya.
Ditempat yang sama Sutaya menilai langkah-langkah optimistis patut dirawat sehingga muncul banyak alternatif dan jalan keluar dari masalah lingkungan.
“Wajib ikhtiar. Jalan keluar bagaimana. Aturan sudah banyak. Mentoknya di masyarakatnya. Harus diberi reward dan punishment tetapi yang menyentuh. Kalau sosialisasi, mentok juga di hadapan masyarakat. Bagaimana menghadapi karakter orang Bandung supaya program-program ini bisa menghasilkan solusi,” katanya.
Sementara menurut Iqbal Mohamad Usman menjelaskan, bila ditinjau dari aspek tata kelola pemerintahan, penting untuk mengawali pembenahan dari hulu permasalahan. Produksi sampah, misalnya, masih harus ditekan dari perilaku masyarakat yang selama ini mudah tergiur menggunakan kemasan pemicu sampah baru.
“Program dari almarhum Mang Oded (mantan wali kota Bandung), Kang Pisman, memperbaiki di hulunya dulu melalui edukasi pola pikir. Pola pikir ini yang diperlukan, termasuk di pemerintahannya, karena sosial dan kultur warga memengaruhi, sumber daya di pemerintahan juga memengaruhi,” ujar Iqbal.
Wakil Ketua Komisi C, Agus Andi Setyawan mengatakan, DPRD Kota Bandung tentu akan selalu siap mendukung dari sisi anggaran bila programnya terukur.
“Kita akan dukung anggaran asalkan programnya riil di lapangan. Di lapangan itu harus betul-betul dicek. Saya berharap Bu Herlina bisa terus bekerja sama dengan Komisi C supaya bisa terus mengawal hingga solusi-solusi ini bisa menyelesaikan persoalan lingkungan,” katanya.
Agus Hermawan mengatakan, konsultasi bersama akademisi ini merupakan langkah serius DPRD Kota Bandung untuk menyelesaikan berbagai permasalahan. Isu lingkungan yang dibidangi oleh Komisi C menjadi salah satu agenda penting untuk dikawal karena menyangkut warisan “hijau” bagi warga Kota Bandung hingga masa mendatang.
“Dalam kesempatan ini kami berterima kasih kepada Ibu Herlina atas kesediaannya berkolaborasi bersama Komisi C. Mudah-mudahan ada rekomendasi dari hasil membedah masalah bersama. Setelah pertemuan ini kita punya gagasan, untuk mengawal kinerja dinas terkait. Nanti hasilnya akan kita pelajari, dan kami akan mengembangkan ide tersebut,” tutur Agus. *ADV