JAKARTA, patrolicyber.com – Akar konflik internal di PT Banyuwangi Internasional Yacht Club (BIYC) semakin terbuka, John Lundin, warga negara Swedia, mengeluarkan berbagai pernyataan terkait PT Lundin dan BIYC, membuka penyebab terjadinya konflik yang berujung pada penutupan ikon Banyuwangi tersebut.
“Mereka memanfaatkan celah hukum, seperti disebutkan bahwa kontrak BIYC dengan PT Lundin pada bulan Desember 2024, kan kontraknya sudah habis, maka mereka memasang larangan memasuki BIYC, ” kata Eko Sutrisno, S.H., kuasa hukum manajemen BIYC, kepada awak media di Banyuwangi, Sabtu (08/03/2025).
Kami, lanjut Eko yang sehari-hari menjabat sebagai Ketua Peradi Banyuwangi, selaku kuasa hukum tetap akan melakukan upaya untuk pengosongan pada hari ini.
“Saya telah mengirimkan surat tersebut, maka kami tetap akan melakukan upaya pengosongan sesuai dengan surat yang saya sampaikan kepada mereka,” ujar Eko.
Eko Sutrisno juga menyebutkan bahwa pihaknya akan melakukan pendataan terhadap semua asset yang dikeluarkan. Akan dilakukan pencatatan sebagai bagian dari akuntabilitas.
Ditanya lebih lanjut tentang penyebab konflik yang memicu permasalahan, Eko Sutrisno menyebutkan tentang pelaporan keuangan selama manajemen lama dipegang oleh John Lundin.
“Yang namanya usaha itu kan semua pihak, para pemegang saham, berhak untuk mendapatkan laporan keuangan. Nah, kalua laporan keuangan saja tidak pernah ada, dan saya pun sampai saat ini belum menerima laporan keuangan tersebut, itu semua menimbulkan konflik tersebut,” ujar Eko.
Penelusuran lebih lanjut terkait usaha BIYC, sebagai perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA), ternyata dikelola tidak sesuai dengan kaidah sebuah perusahaan, utamanya terkait dengan laporan keuangan yang tidak dilakukan.
“Jika tidak ada pelaporan keuangan, artinya PMA ini berpotensi melanggar hukum, karena laporan keuangan, keuntungan, kerugian dan sebagainya yang menjadi dasar untuk pembayaran pajak kepada negara,”lanjut Eko.
Awak media melakukan pendalaman informasi terkait sepak terjang John Lundin yang ternyata memiliki berbagai usaha dengan salah satunya bendera PT Lundin. PT Lundin melakukan sewa kontrak lahan dan gedung yang ditempati oleh BIYC dari PT Pelindo.
John Lundin, selaku pemilik PT Lundin, dan juga pemegang saham sebagian BIYC, menyewakan gedung yang disewa ke BIYC, yang nota bene dirinya sendiri,
“Di sinilah awal mulanya, karena terjadi benturan kepentingan, John Lundin, pun tidak pernah memberikan laporan keuangan kepada para pemegang saham,” lanjut Eko.
Dari seluruh carut-marut penutupan BIYC, maka makin terkuat sepak terjang John Lundin. Aktivitas kegiatan John Lundin memang menyangkut dengan Kementerian Pertahanan Republik Indonesia pun berpotensi bermasalah.
Penelusuran mendalam media ini mendapati John Lundin menggerakkan bisnis pola mengajak investor, seperti yang dilakukan dengan para pemegang saham BIYC. Tercatat John Ivar Allen Lundin bersama dengan Lizza (WNI) melibatkan Robin William Fidgerald (WN Inggris) mengendalikan Super Dry International Pte Ltd Singapore, di mana Lundin menguasai 46,26% saham melalui Abachi Holding Pte Lmt (ABI) milik 100% Lundin. Sementara sisanya 46,25% saham dimiliki oleh Robin melalui Axis International Holding Pte Ltd Singapore.
Super Dry International Pte Ltd Singapore (SDI), menguasai 50% saham North Sea Boats Pte Ltd Singapore (NSB), selebihnya 25% saham dimiliki secara individu oleh Lundin dan 25% oleh Lizza.
Sementara PT (PMA) Lundin Industry Invest Indonesia, sepenuhnnya dikendalikan oleh Lundin sebagai pemegang saham mayoritas 50,5% dan sisanya dimiliki oleh Lizza.
Perusahaan North Sea Boats Ptd Ltd Singapore (NSE), dan lokasi perusahaan PT Lundi Industry Invest tidak menunjukkan kegiatan bisnis perkapalan sama sekali, sesuai pengamatan awak media di lokasi. Pun data selanjutnya didapati bahwa logo North Sea Boats di lokasi tidak menunjukkan aktivitas produksi perkapalan sebagaimana digambarkan oleh Lundin.
Terkait dengan aktivitas bisnis tersebut, media ini mendapatkan sumber informasi dari Paul Wan & Co, sebagai public and chartered accountants of Singapore, yang beralamat di 10 Anson Road #35-07/08 International Plaza, Singapore 079903.
Pengacara internasional Phillip G. Laskaris berbasis di Thailand pun melayangkan permohonan penyelidikan terkait dengan dugaan pemalsuan dokumen untuk pendirian perusahaan di Singapura yang menyeret Robin Willian Fidzgerald dan John Ivar Lundin serta Lizza.
Surat tertanggal 1 Oktober 2024, ditujukan kepada Accounting and Corporate Regulatory Authority (ACRA), Singapore, yang diterima redaksi menunjukkan dugaan pemalsuan alamat yang diberikan untuk mendirikan perusahaan.
“This will certainly breach the Singapore Corporations Act 1967, related to compliance issues, with alleged CA sec. 157(1) & 173G / False Address / Foreign Directors & Shareholders. It appears that JL’s (John Lundin) address as both a director and/or shareholder that has been provided to ACRA with respect to NSB, SDI, and ABI (annexes 5, 8 & 9) may be false,” seperti dikutip dari surat yang dimiliki oleh media ini.
Kutipan itu pada intinya menyebutkan sesuai dengan UU Perusahan Singapura 1967, terkait dengan ketaatan pada aturan, dengan potensi pelanggaran terkait dengan bab 157(1) dan 173G tentang Alamat Palsu yang menyangkut Direktur dan Pemegang Saham Asing di mana John Lundin sebagai direktur dan pemegang saham menyerahkan ke ACRA, terkiat dengan perusahaan NSB, SDI, dan ABI adalah palsu.
Praktik mengendalikan bisnis model SDI dan NSB ini, di mana Lundin dan Lizza mengendalikan manajemen kedua entitas perusahaan itu dilakukan juga dengan PT Lundin Industry Invest dan Banyuwangi International Yacht Club (BIYC).
Eko Sutrisno menekankan bahwa terkait dengan para pemegang saham berhak untuk mendapatkan laporan keuangan, rugi-laba, atas investasi yang mereka tanamkan.
“Praktik tidak membuat laporan keuangan tentu bisa berpotensi melanggar hukum, bisa laporan menghindari pajak, atau bahkan tindak pidana pencucian uang (TTPU),” pungkas Eko.**