SUMEDANG,– Sebagai bentuk upaya pencegahan masuknya paham radikalisme di lingkungan lembaga, Institut Pemerintahan Dalam Negeri menggelar stadium general terkait radikalisme bagi praja dan civitas akademika IPDN.
Hal ini dilakukan guna memberikan pengetahuan terkait upaya antisipasi dan strategi mengatasi gerakan radikalisme dan intoleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kepala Bagian Kerja Sama dan Humas IPDN, La Ode Muhamad Alam Jaya dalam siaran persnya menyebutkan, Zannuba Ariffah Chafsoh atau yang dikenal sebagai Yenny Wahid selaku Direktur The Wahid Foundation didapuk menjadi narasumber dalam acara ini.
“Selain Yenny Wahid, hadir pula perwakilan dari Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian RI yakni AKBP Mayndra Eka Wardhana selaku Plh. Kasubdit Kontranaratif Ditcegah Densus 88, Islah Bahrawi selaku Tenaga Ahli Pencegahan Radikalisme, Ekstremisme dan Terorisme Mabes Polri dan Sofyan Sauri selaku pengamat terorisme,” tulis La Ode.
Acara ini diikuti secara luring oleh seluruh praja IPDN kampus Jatinangor juga diikuti secara daring oleh seluruh praja, mahasiswa pasca sarjana, keprofesian dan civitas akademika yang berada di IPDN kampus daerah.
Rektor IPDN, Dr. Hadi Prabowo, M.M mengatakan bahwa acara ini dilaksanakan untuk memproteksi diri praja agar praja menjadi tahu apa perbedaan radikalisme dan intoleransi serta bagaimana upaya-upaya mengantisipasinya.
“Ketidaktahuan para praja kepada beberapa tokoh yang disinyalir menganut paham-paham tertentu, menjadi intropeksi kami khususnya bagian yang mengendalikan mahasiswa/praja untuk lebih berhati-hati. Saya pastikan sekali lagi bahwa IPDN steril dari paham-paham radikalisme. Untuk memperkuat itu, kami hadirkan Bu Yenny Wahid, AKBP Mayndra Eka, Bapak Sofyan dan Islah Bahrawi untuk memperluas pemahaman praja terkait hal tersebut. Semoga setelah ini, praja tahu mana yang benar-benar harus dijauhi dan mana yang harus dibela”, paparnya.
Hadi juga kembali menegaskan bahwa IPDN adalah pendidikan kepamongprajaan yang dilandasi oleh jiwa pancasila, cinta NKRI dan mengedepankan nilai-nilai kebangsaaan serta mampu menghadapi radikalisme dan selalu menjaga kerukunan. Jadi IPDN dipastikan tidak mengikuti atau mengajarkan aliran atau paham yang radikal.
“Di IPDN tidak benar ada pengajian yang beraliran wahabi atau paham-paham menyimpang lainnya, kalau sudah lulus jadi ASN itu bukan tanggung jawab IPDN lagi karena mereka akan menghadapi kompleksitas dan tekanan kehidupan yang berlainan,” ujarnya.
Pada kesempatan ini, Yenny Wahid menyampaikan perbedaan terkait radikalisme dan intoleransi. Menurutnya definisi intoleransi dan radikalisme itu harus jelas, intoleransi adalah sikap dan tindakan yang bertujuan menghambat atau menentang hak-hak kewarganegaraan yang dijamin konstitusi.
Intoleransi ini bisa terjadi terhadap orang yang berbeda agama, maupun satu agama. Sedangkan radikalisme adalah partisipasi atau kesediaan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang melibatkan kekerasan atas nama agama, etnis maupun politik.
Menurutnya radikalisme tidak hanya berkaitan dengan agama apalagi dengan satu agama tertentu.
“Radikalisme bisa dilakukan oleh siapa saja, dari agama apa saja, dari kelompok politik mana saja, asal dia bersedia untuk berpartisipasi dengan menggunakan kekerasan dalam mewujudkan agenda-agendanya,” katanya.
Yenny Wahid juga mengapresiasi tindakan yang dilakukan oleh Rektor IPDN dengan segera melakukan penyisiran ketika ditengarai ada unsur-unsur yang berusaha masuk ke IPDN.
“IPDN adalah tonggaknya Indonesia, kedepannya nanti praja IPDN yang akan menjalankan negara kita. Jadi harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya,” tuturnya.
Senada dengan yang disampaikan oleh Yenny Wahid, AKBP Mayndra mengatakan bahwa radikalisme adalah fikiran atau gagasan untuk mengganti ideologi yang sudah berdaulat, jadi untuk menghindarinya kita harus sama-sama sepakat bahwa Pancasila sebagai satu-satunya falsafah yang harus dijunjung tinggi.
“Sepakat dengan yang dibicarakan oleh Ibu Yenni, bahwa seorang radikalis dan intoleran belum tentu menjadi teroris, tapi teroris sudah pasti orang yang radikal dan intoleran, jadi kita harus hati-hati apabila sudah mulai merasakan intoleran,” kata Sofyan Sauri.
Hal itupun diamini oleh Islah Barawi, beliau juga kembali mengingatkan audiens untuk jangan karena beragama kita mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda dengan kita, mari bawa agama ini kedalam arah kedamaian, anti kebencian dan anti kekerasan. (Abas)