JAKARTA,– Kiprah tokoh dibawah ini telah cukup lama diikuti, hingga kemudian Tuhan mempertemukan kami di acara HUT Ke-55 NSI-Niciren Syosyu Indonesia lalu. Dharma dan moralitas beliau bagi ke-Agungan nama besar Buddha di Indonesia tidaklah dapat dipandang sebelah mata. Sayangnya beliau tidak ingin ‘pamer’ diri, mungkin karena telah tercapainya segala hal yang menyangkut duniawi.
Sudah dalam kesempurnaan Buddha yang maksimal. Bahkan saya tahu beliau hadir di KPK bulan September 2019 lalu bersama tokoh agama lain, untuk mengimbau DPR agar berhenti melakukan tindakan yang mendukung pelemahan pemberantasan korupsi, termasuk di dalamnya pelemahan KPK. Namun karena terbentur waktu, saya tidak sempat menjumpai beliau disana. Tokoh ini bernama Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja Ketua Umum Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia (NSI).
“Sebelumnya kami atas nama Pengurus dan umat NSI mengucapkan terima kasih kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Sa’adi, para peserta, pers dan hadirin di acara Gerak Jalan Kerukunan Beragama dalam rangka HUT Ke-55 Niciren Syosyu Indonesia (NSI) yang diikuti lebih dari 4.000 orang dari 18-provinsi, semoga silaturahmi ini terus berjalan dengan saling berbagi kebaikan,” demikian disampaikan Ketua Umum NSI, Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja saat ditemui waktu lalu.
Jika saat ini jumlah ummat Buddha di dunia mencapai lebih dari 700.000 orang, terbanyak di Tiongkok 244,1 juta jiwa (46,4%), Thailand , Jepang, Myanmar dan Sri Lanka. Sedangkan di Indonesia telah menembus angka 2,6 juta orang, dan NSI ada diantaranya sejak tahun 1960-an.
Masuknya agama Buddha di Indonesia bukan melalui ekspansi, namun melalui perdagangan lewat jalur laut atau Kerajaan Sriwijaya. Kemudian menyusul melalui kerajaan Tarumanegara, Mataram Kuno, dan lain-lain.
“Di daerah Jawa, terdapat Kerajaan Buddha yang bernama Kerajaan Syailendra yang terdapat di Jawa Tengah yang mewariskan banyak candi, khususnya Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia. Keberadaan Buddha di Indonesia tidak terlepas dari peran orang Tionghoa yang melakukan perdagangan di Indonesia pada zaman dahulu. Agama Buddha lebih banyak didominasi oleh orang Tionghoa daripada India,” tambahnya.
“Kami prihatin adanya radikalisme dalam bangsa ini. Kalau pun sebenarnya radikal itu sendiri berarti mengakar, namun bukan menjadi pembenaran untuk mendzolimi orang lain juga ummat agama tertentu, etnis tertentu. Kami setuju dengan istilah baru pengganti radikalisme dengan manipulator agama, lebih santun ya. Kami juga paham dalam semua agama kita dianjurkan untuk saling meyakini ajaran agamanya dengan mengakar, dan kami paham dalam agama Islam dan semua agama yang ada tidak pernah mengajarkan kekerasan. Yang menjadi pemecah belah sebetulnya bukan perbedaan keyakinan agama, ini lebih pada personal, oknum ya.”
“Indonesia sejak adanya Pancasila telah mengakui perbedaan dan keberagaman beragama. Ini yang banyak dimanipulasi oknum, mereka kuasai media, mereka sebarkan fitnah, sebagaimana kasus kekerasan antar sekelompok biksu dengan etnis Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar lalu. Mereka meniupkan fitnah bahwa ini perang agama, kami bersama PBNU September 2018, saat itu menolak keras fitnah itu. Kalau pun ada, itu hanya ulah oknum, baik dari rohaniawan Buddha juga muslim. Clear ya, itu bukan perang agama.”
“Jadi demikian halnya yang terjadi di Indonesia, pemahaman radikalisme itu salah, semua agama sejak lama saling menghormati perbedaan dan keragaman keyakinan,” paparnya.
Ditanya, kalimat manipulator Agama itu adalah salah satu ide dirinya yang disampaikan kepada Presiden Jokowi?. Ia menjawa: “Oh bukan. Bukan begitu ceritanya. Yang jelas sekitar bulan April 2018 lalu, kami, diundang Presiden Jokowi ke Istana Merdeka, Jakarta. Ya acara santai, ngobrol-ngobrol ringan tentang budaya, ya sambil ngopi-ngopi gitulah. Termasuk saya hadir , kita nggak ngobrol soal politik, ya soal budaya saja. Yang jelas beliau (Jokowi) itu orang sederhana, hebat, cerdas dan mau mendengar,” jawab Suhandi sambil tersenyum.
Sebelum pamit, karena ada rutinitas lain, beliau menitipkan pesan, bahwa inti poin Hyang Buddha adalah, “Tidak melakukan perbuatan jahat, perbanyak perbuatan kebajikan, dan sucikan hati dan pikiran. Karena semua itu tertuang dalam hukum karma, hukum sebab akibat. Oh ya, kapan-kapan kita main ya ke Vihara Nasional kami di Ciapus, Bogor ya?” tuturnya.(PpRief/Rahma)