BANDUNG, — Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat, Benny Bachtiar menyatakan, memasak nasi menggunakan alat tradisional seperti dengan dandang (Sunda : seeng), aseupan atau langseng yang dimasak di atas hawu (tungku) sudah tidak ada lagi, khususnya di masyarakat perkotaan.
Pernyataan tersebut dikemukakan Benny pada awak media usai membuka Expo Museum Sri Baduga 2023 dengan tema Pancaraken Sundanese Everyday of Things di Museum Sri Baduga Jl. BKR Bandung, Selasa (20/6/2023).
“Akibatnya, kata Benny, generasi sekarang (gen-Z) bahkan orang tuanya yang masuk generasi milenial tidak tahu dengan peralatan memasak nasi (nyangu-basa Sunda) tradisional itu”.
Benny juga memerinci ketika neneknya dulu ngakeul nasi di dulang menggunakan cukil dan hihid (kipas dari bambu), kemudian membuat nasi keupeul dan dicocolkeun ke garam atau sambal. “Nikmatnya tiada banding dan tidak ada banding,” ucapnya.
Karena itu, pihaknya melalui Museum Sri Baduga menghadirkan kembali titinggalan nenek moyang tersebut dalam sebuah expo.
“Harapan saya, anak-anak generasi Z dan alpha bisa mengenal dan mengetahui peralatan masak (Pancaraken) masyarakat Sunda tempo dulu. Bahkan tidak hanya mengenal dan mengetahui saja melainkan generasi Z dan Alpha bisa menggunakan kembali Pancaraken itu.
Upaya itu, kata Benny, merupakan ikhtiar Disparbud Jabar untuk melestarikan, menjaga dan memanfaatkan budaya tempo dulu sesuai Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Ni. 5 tahun 2017, ucapnya.
Sementara itu, peneliti kuliner khas Jabar, Riadi Darwis menyebutkan alat-alat memasak nasi berdassrkan hasil psnelitiannya. Ada sekitar 600 pancaraken Sunda (peralatan masak dan dapur.
Barang-barang tersebut di antaranya cukil (centong nasi), tetenong (wadah tempat makanan) kemudian seeng (dandang), aseupan (kerucut tempat menanak nasi terbuat dari anyaman bambu), hawu (tungku), boboko (bakul nasi), kastrol (tempat membuat nasi liwet), songsong (alat tiup untuk membuat kobaran api membesar), serok, para seuneu/kayu bakar berada di atas hawu).
“Ini penting dihadirkan kembali kepada generasi Z dan alpha agar mereka tahu dan mengenal budaya nenek moyangnya,” ujar Riadi seraya menyebutkan dia telah meneliti berbagai kuliner di tatar Sunda sejak jaman dulu,”ungkapnya.
Menurutnya, banyak naskah kuno yang menjelaskan soal Pancaraken Sunda termasuk kulinernya seperti di naskah Siksa Kandang Karesian, Bujangga Manik, Carita Parahyangan Babad Cirebon.
“Bahkan kebiasaan memasak dan menggunakan alat masak terdapat pula pada relief di Candi Borobudur pada abad 9 Masehi,” ucapnya.
Darwis menyebutkan, khasanah kuliner masyarakat Sunda sangat luar biasa seperti khasanah kuliner di lingkungan Keraton di Cirebon terdapat 275 jenis kuliner. Sedang di Galuh Ciamis ada 475 jenis kuliner, termasuk mantra-mantranya dan di kabuyutan Garut terdapat 562 jenis kuliner.
Untuk lalaban, rujak, sambal dan tektek ada 718 spesies lalab dan 382 bahan baku rujak. “Untuk varian rujaknya sudah ditemukan sekitar 54 varian rujak dan sambal 100 lebih varian. Ini sangat luar biasa,” pungkas Darwis. **