KAB. BANDUNG,– Penulis sekaligus Pemerhati Sosial dan Keagamaan, Idat Mustari membuat tulisan khusus tentang Pilkada Serentak, khususnya Pilbup Bandung 2024.
Ia mengatakan, seusai memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia serta memilih para wakil rakyat untuk parlemen, kini rakyat akan menggunakan hak pilihnya lagi untuk menentukan kepala daerah, dalam proses pilkada yang dilaksanakan secara serentak di seluruh tanah air.
“Perhelatan politik tersebut akan dilaksanakan pada hari Rabu, 27 Nopember 2024. Dengan kata lain rakyat kembali menunjukkan kedaulatannya atas negara dan pemerintahan,” kata Idat.
Menurutnya, inilah bentuk partisipasi minimal dari seorang warga negara dalam sebuah proses demokrasi.
“Oleh karena itu tulisan ini menyeru kepada masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku,” katanya.
Menurutnya, disayangkan jika ada kalangan yang enggan pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) lantaran berbagai alasan. Misalnya, karena sibuk, malas, ingin jadi bagian dari golput, atau alasan lain yang tidak masuk akal.
“Dalam pilkada, tentu saja rakyat harus memilih kepala daerah yang berkualitas, kepala daerah yang punya kualifikasi untuk menjamin lancarnya pengelolaan pemerintahan yang baik,” katanya.
Idat menyebut, kualifikasi amat diperlukan, selain untuk maksud yang telah dikedepankan, juga guna mempercepat terwujudnya kemakmuran daerah dan kesejahteran rakyatnya.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk memilih figur kepala daerah yang punya kualifikasi amanah, cinta masyarakat, mampu meningkatkan taraf hidup, bukanlah masalah yang mudah dan gampang,” ujarnya.
Dalam kondisi seperti itu, sambung Idat, tidak elok jika para elite “menjerumuskan” masyarakat awam ke dalam mistifikasi politik. Sehingga sikap dan pikiran politik mereka yang semestinya rasional, malah terjerembab ke dalam irrasional dan kurang dapat dipertanggungjawabkan
“Indikasi mistifikasi politik antara lain adalah anjuran agar masyarakat dalam memilih calon kepala daerah datang bertanya kepada orang pintar (dukun), atau minta pendapat paranormal lainnya,” ungkapnya.
Sebab yang demikian itu alih-alih mencerdaskan dan mencerahkan, justru membuat mereka akan semakin bodoh. Malahan jika yang demikian itu benar-benar terjadi, maka dikhawatirkan mereka akan terjatuh ke alam kemusyrikan.
“Agar dipahami pula, bahwa Pilkada adalah masalah profan- keduniawian. Karena demikian halnya, maka hemat saya, tak perlu juga menentukan pilihan lewat shalat istikharah. Tanya saja hati nurani, ia tidak pernah berdusta. Selanjutnya, simaklah pula keperibadian dan perilaku keseharian figur calon,” beber Idat.
Sebagaimana diketahui, masih dikatakan Idat, dalam tulisannya, seorang calon mestinya punya keilmuan yang memadai.
“Indikasinya gampang. Perhatikan saja atribut akademik yang lekat pada dirinya. Adakah gelar doktor di depan namanya. Bukankah gelar doktor adalah gelar akademis yang tertinggi?” sebutnya.
Selain kualifikasi keilmuan, imbuh dia, perlu pula dipertimbangkan sejauh mana keberpihakan calon kepada masyarakat, terutama kalangan akar rumput (dhuafa); juga tentang kemampuan figur memelihara amanah, dan lain sebagainya.
“Harus segera ditegaskan, bahwa apa yang baru saja diutarakan, bukan berarti melarang berbagai perilaku spiritual (seperti istikharah, misalnya),” jelasnya.
“Hal itu boleh-boleh saja. Sebab istikharah diajarkan agama. Akan tetapi untuk urusan yang satu ini, pilkada, sekali lagi mestinya rakyat dididik cerdas dalam menggunakan akal, cerdik menentukan pilihan, sehingga kemudian tepat dalam menentukan siapa calon yang layak jadi pemimpin mereka,” katanya.
Menurut Idat, salah satu upaya untuk mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat adalah dengan mengajak mereka membaca rekam jejak, prestasi dan pengalaman sang calon.
“Dengan demikian diharapkan mereka dapat menggunakan pikiran jernih dan akal sehatnya untuk memilih kepala daerah. Jangan sampai mereka keliru dalam memilih kepala daerah. Disebut keliru kalau dalam memberikan hak suaranya bukan kepada calon lantaran dia punya kualifikasi. Melainkan hanya lantaran keelokan paras, atau mungkin hanya popularitasnya di kalangan orang banyak,” ujar Idat.
Jika hal itu terjadi, menurutnya akan menjadi preseden kurang sehat dalam membangun kehidupan demokrasi berkualitas jangka panjang.
Masa kampanye Pilkada yang dimulai tanggal 25 September hingga 23 Nopember, menurutnya lebih dari cukup untuk mengenali calon pimpinan daerah.
“Pasti kita sepakat bahwa calon yang dipilih adalah dia yang matang dalam pengalaman. Ini penting, sebab dengan pengalaman peluang meraih target pertumbuhan ekonomi 8 persen, sebagaimana telah dicanangkan Presiden terpilih Prabowo Subianto, sangat mungkin dapat terealisiasi. Sehingga target tersebut bukan sekedar utopia belaka,” katanya.
“Tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa figur Incumbent yang telah menorehkan prestasi dalam berbagai bidang, adalah figur yang paling tepat dijadikan pilihan rakyat dalam Pilkada sekarang.”
“Sebab kepala daerah yang prestatif tersebutlah, yang dapat memicu dan memacu pertumbuhan ekonomi di daerahnya secara maksimal dan optimal. Lagi pula dialah yang sangat mungkin dapat memberikan kontribusi signifikan dalam pemenuhan target pertumbuhan ekonomi nasional.”
Sekali lagi dalam pilkada mendatang kita tidak perlu terjebak pada mistifikasi politik. Seperti misalnya pergi ke dukun atau paranormal lainnya. Mari kita gunakan pikiran jernih dan akal sehat,” papar Idat.
Ia yakin hanya dengan cara seperti itulah maka akan lahir pemimpin smart, yang bisa meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat di daerahnya. Sehingga kemudian kehidupan yang makmur dan sejahtera menjadi milik bersama.
“Selamat Pilkada. Selamat memilih figur dengan akal sehat tanpa terjebak dalam mistifikasi politik,” tandas Idat, dalam tulisannya. (Abah Abadi)