JAKARTA,– Pers membangun kesadaran konstitusi dan kebebasan. Pers tidak boleh mengesampingkan peran utamanya sebagaimana termaktub dalam UU Pers no 40 tahun 1999. Salah satu peran mendasar Pers tersebut adalah ikut bertanggungjawab dalam membangun kesadaran konstitusi kepada masyarakat sebagai salah satu bentuk partisipasi positif dalam menjaga nilai-nilai konstitusi (Pasal 6 (b) UU No 40 tahun 1999).
Hal ini mengindikasikan, berhasil dan tidaknya kemelekan atas kesadaran berkonstitusi warga negara tergantung pada Pers. Dengan kata lain, tugas pers sesungguhnya lebih kepada penyebaran informasi positif agar warga negara dapat berpartisipasi melaksanakan kewajibannya mencerdaskan bangsa.
Demikian disampaikan Ir. Akbar Tanjung saat diminta pendapatnya tentang Pers di Nawacita 1 dan harapan di Nawacita jilid-2 tahun 2019-2024, waktu lalu di sebuah acara di hotel kawasan Jakarta Pusat.
Bang Akbar, panggilan akrabnya, menambahkan, begitu pentingnya peran media dalam kesadaran demokrasi dan keterbukaan informasi tentunya harus diimbangi dengan pemberitaan yang sehat. Sebab pemberitaan di media, jika salah dan dimanfaatkan dalam hal provokatif justru akan melahirkan kegoncangan stabilitas negara.
“Tanggung jawab media memastikan informasi yang keluar adalah benar dan berpihak kepada keadilan masyarakat, bukan kepentingan penguasa atau pemilik media, apalagi hoax yang menyebabkan kegaduhan. Dalam kesadaran demokrasi ini, terlepas dari batasan-batasan kemerdekaan pers yang membelenggu kemandirian pers, media berkewajiban memberikan pemahaman dan informasi yang berkiblat kepada kepentingan publik karena keutuhan NKRI dan marwah Konstitusi adalah kewajiban anak bangsa,” papar dia.
Bang Akbar menambahkan , Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap menyatakan demikian pentingnya peran pers sebagai pilar ke-4 demokrasi Tanah Air. Meskipun dalam lima tahun terakhir, pers dianggap sulit bersaing dengan media sosial dan media digital, namun peran penting pers tetap tidak tergantikan.
“Pers makin diperlukan untuk menjadi pilar penegak penyampaian kebenaran. Pers makin diperlukan sebagai pilar penegak fakta-fakta. Pers makin diperlukan sebagai pilar penegak aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat. Dan presiden Jokowi memahami itu,” ujarnya lagi.
Selain itu, imbuh Akbar, presiden juga meyakini peran penting pers untuk membangun narasi-narasi kebudayaan dan peradaban baru Tanah Air. Apalagi saat ini teknologi berkembang dengan begitu cepat dan tidak bisa dihindari.
“Pers makin diperlukan untuk turut membangun narasi-narasi kebudayaan baru, membangun narasi peradaban baru, memotret masyarakat yang bergerak semakin cepat dan semakin efisien yang sekarang melahirkan era revolusi industri 4.0 yang berbasis kepada digitalisasi, kekuatan komputasi, dan analitik data.”
“Pers Indonesia diharapkan selalu dan semakin inovatif dan optimistis dalam melahirkan produk jurnalistik yang berkualitas untuk masyarakat. Kesuksesan Nawacita 1 lalu Nawacita jilid-2 mendatang ada ditangan Pers, andil Pers cukup besar. Karena, Pers sebagai alat sosial kontrol pejabat publik,” katanya.

Diskusi dilanjutkan di Akbar Tanjung Institut (ATI), Jakarta Selatan. Pria Kelahiran Sibolga, Sumatera Utara 14 Agustus 19445 dan mantan Ketua DPRRI (199-2004), Mensesneg (1998-1999), Menpera /PUPR (1993-1998) dan Menpora (1988-1993) ini demikian terbuka kepada Pers. Ia seolah tidak akan pernah lelah berbakti kepada bangsa dan negara besar ini. Namun beliau selalu menolak disaat ada pihak yang mencalonkannya sebagai ‘Watimpres Jokowi. “Saya menikmati apa yang sedang saya lakukan selama ini,” tukasnya.
Hal senada disampaikan Prof. DR. Mahfud MD. “Sebagai pilar keempat demokrasi, peran pers di Indonesia paling sehat dibandingkan dengan ketiga pilar lainnya, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif (ELY) yang sekarang sudah mulai digerogoti,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Menurutnya, sebagai pilar paling sehat, pers berperan penting untuk mengawal demokrasi dan konstitusi Indonesia.
Kebobrokan legislatif, kata dia, dapat dilihat dari banyak aspek. Khusus dalam aspek penegakan hukum, kebobrokan legislatif dari pusat hingga daerah saat ini adalah menjadi tahanan KPK.
“Begitu juga dengan eksekutif, bupati, gubernur, dirjen, dan menteri,” sambung Mahfud.
Sementara Yudikatif, menurutnya paling parah. Sampai-sampai dia menyarankan agar masyarakat jangan sampai bermasalah dengan pengadilan yang saat ini berubah menjadi tempat jual beli perkara.
Mahfud menyadari, kalau pers saat ini memiliki banyak tantangan. Misalnya, politik kepentingan. Dia akui, masih ada pers yang berat sebelah, meski memang hal itu tidak berlaku universal.
“Jadi kita memang berharap banyak kepada Pers di Nawacita jilid-2 dalam mengawal Presiden Jokowi dan Kabinet Indonesia Maju (KIM)-nya?” pungkasnya. (PapaRief/RL)