MUSIRAWAS,- Hampir ratusan tanaman bibit kakao ditanam di Desa M Sitiharjo, Kecamatan Tugu Mulyo, Musirawas, Sumatera Selatan mati akibat kultur tanah dan iklim cuaca tak cocok. Parahnya, saat penanam dilakukan di musim kemarau.
Sekdes M. Sitiharjo Amin Suwardi didampingi perangkat desa Helmi mengatakan, bibit tanaman Kakao ditanaman mulai tahun 2017 sampai sekarang.
Tahun 2017, Desa M Sitiharjo dapat bantuan bibit kakao dari Dinas Perkebunan sekitar 750 bibit dan dibagikan pada masyarakat dan ditanam dilahan milik desa.
“Bibit kakao yang ditanam di lahan desa oleh masyarakat, sekitar 40 persen banyak yang mati akibat iklim dan kultur tanah di desa ini tidak cocok ditanam kakao,” katanya, Senin (16/9/2019).
Kemudian, imbuhnya, tanaman kakao yang mati disulam kembali dengan menggunakan dana desa tahun 2018 sebanyak Rp200 bibit Kakao.
“Walaupun tanaman Kakao sudah disulam, namun masih tetap mati, karena sudah saya jelaskan iklim dan kultur tanah di desa ini tak cocok untuk tanaman kakao. Parahnya, bibit tersebut ditanam pada musim kemarau,” tegasnya.
Lantas, mengapa tanaman kakao pada tahun 2017 dinyatakan tak cocok ditanam di desa ini, tetapi tahun 2018 dan 2019 malah dilakukan kembali pengadaan bibit kakao yang memakai dana desa untuk penyulaman?
Apakah kades dan perangkat desa tidak belajar dari pengalaman yang sudah terjadi pada tahun 2017. Dimana, bibit kakao yang ditanam banyak mati.
Sekdes dan pendamping desa diam tak bisa menjawab pertanyaan tersebut. “Soal itu kami tak bisa menjelaskan, tanya langsung dengan pak kades,” ujarnya.
Saat diwawancara, apa yang disampaikan Kades M Sitiharjo Darmanto berbeda dengan tanggapan sekdes dan pendamping desa.
Menurut kades, matinya tanaman kakao di desanya bukan faktor kultur tanah dan iklim. Persoalannya, bibit yang ditanam pada musim kemarau sehingga mengakibat bibit kakao yang ditanam banyak mati.
Bibit kakao bantuan dari dinas perkebunan tahun 2017 lalu dibagi pada masyarakat dan ditanam di lahan milik desa seluas 1,5 hektar.
“Saya lupa berapa jumlah bibit kakao tahun 2017 lalu yang ditanam di desa kami,” akunya.
Bibit Kakao yang mati, imbuhnya, kurang lebih sebanyak 5 persen. Tapi, semua diatasi pada tahun 2018 menggunakan dana desa dengan cara disulam. Bibit yang mati diganti dengan bibit baru.
“Bibit kakao pada tahun 2018 dari dana desa berjumlah kurang lebih 200 bibit untuk sulam tanaman yang mati,” ujarnya.
Pada tahun 2019, penyulaman bibit kakao dilakukan kembali memakai bibit kakao tahun 2018. Bibit itu didatangkan dari Desa Senaro dan Desa Wonosari, Kecamatan Megang Sakti, dengan tinggi bibit tidak sama berkisar 50 senti meter, 30 senti meter hingga 20 senti meter.
“Bibit kakao yang dipakai untuk sulam tahun ini adalah bibit tahun 2018 lalu, karena bibit tahun lalu dipakai, separuh tidak semua. Separuh bibit yang belum dipakai kita gunakan penyulaman bibit kakao tahun ini,” jelasnya.
Kades terdiam dan tak bisa menjelaskan saat ditanya bagaimana membuat laporan soal pengadaan bibit kakao tahun 2018 dipakai separuh dari jumlahya.
Sementara, sisa bibit kakao dipakai atau dikerjakan pada tahun 2019. Bagaimana tim dari kecamatan, kepolisian dan babinsa memeriksa kegiatan ini.
Mendengar pertanyaan tersebut, kades terdiam hanya bisa menundukan kepala terlihat seperti berpikir bagaimana mau menjelaskannya. “Sudahlah kegiatan ini telah dilaksanakan, apa saya salah,” tanyanya. (Toni)