Oleh: Syafril Sjofyan
Pasal penghinaan terhadap presiden yang telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi karena melanggar UUD 1945, istilah lainnya pasal tersebut sudah dimatikan oleh MK, namun rupanya Pemerintah dan DPR RI ingin menjadikan sebagai mummy simayat hidup sebagai perusak demokrasi melalui Rancangan UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.
Pasal yang dijadikan mummy oleh Pemerintah melalui RUU KUHP tentang penghinaan kepada Presiden menurut saya juga lebih sadis lagi karena dikategorikan sebagai pidana umum, dimana tanpa ada yang mengadu seseorang bisa dijadikan tersangka, bukan saja sebagai kemunduran juga merusak demokrasi.
Siapapun Akan Jadi Otoriter
Presiden siapapun orangnya dimasa akan datang akan berubah sebagai diktator, dengan sistim Presidential dimana angkatan bersenjata dan kepolisian serta kejaksaan berada dibawah Presiden, pasal tersebut dapat menggilas siapapun yang dianggap oposisi dan yang memberikan kritik.
Apalagi jika seorang Presiden terpilih dengan keluarga serta pendukungnya yang baper, akan terjadi kebringasan terhadap rakyat yang kritis termasuk yang melakukan pembelaan secara ekspresif, bahkan mungkin akan timbul ketakutan melakukan kontrol, tentunya hal ini sangat jelas mengancam keberadaan civil society.
Saya ingin mengingatkan bahwa langkah pemerintah yang berupaya memasukkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dalam RUU tersebut akan menimbulkan tirani dengan kekuasaan otoriter memberangus demokrasi.
Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik/Aktivis Pergerakan 77-78