BANDUNG, – Kuasa hukum terdakwa rasuah RTH Kota Bandung Dadang Suganda, akan menghadirkan pakar hukum pidana Dr Choirul Huda SH MH pada sidang pekan mendatang. Rencananya, pakar hukum Universitas Muhammadiyah ini akan memjadi saksi meringankan di PN Tipikor Bandung. Dadang dijerat KPK dengan pasal berlapis, korupsi dan pencucian uang.
Diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menyita sejumlah aset milik tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Bandung itu. Aset yang disita yakni 64 bidang tanah dan bangunan serta dua unit mobil Toyota.
Terlepas dari itu, dilansir dari blog pribadinya, Choirul Huda menjelaskan bahwa tekanan pengaturan hukum acara pidana ada pada proses (pengurangan hak individu) dan prosedur (perlindungan hak individu), yang kesemuanya dijalankan oleh aparatur peradilan pidana menyebabkan persyaratan pengaturannya jauh lebih “ketat” daripada pembentukan delik, sehingga harus dengan undang-undang.
“Dalam hal ini penuntutan sebagai suatu “proses” yang mengurasi hak individu haruslah suatu kewenangan yang bersumber dari atribusi undang-undang, dan bukan penafsiran belaka,” tulisnya.
Dia berpendapat, hal itu membawa konsekuensi bahwa pengaturan yang sifatnya hukum acara pidana, tidak ditafsirkan.
Dilanjutkan, keadaan yang menunjukkan bahwa hukum acara pidana atas suatu tindak pidana, seperti tindak pidana pencucian uang yang cenderung dapat ditafsir-tafsirkan, karena under legislation dalam menegaskan suatu kewenangan, dapat menjadi suatu ketentuan yang tidak konstitusional.
“Misalnya, penyitaan oleh Penyidik KPK (dan juga kemungkinan oleh penyidik yang lain) terhadap harta kekayaan tersangka tindak pidana pencucian uang. Dilihat dari definisinya, seperti yang ditentukan dalam KUHP, penyitaan itu dilakukan terkait dengan “barang bukti” suatu tindak pidana,” sebut Huda.
Dalam hal ini barang yang diperoleh dari, dihasilkan dari dipergunakan dalam suatu tindak pidana, dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan suatu tindak pidana ataupun barang yang mempunyai hubungan langsung terhadap suatu tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 KUHAP.
Namun demikian, kata Huda, praktek menunjukkan penyitaan harta kekayaan tersangka dimaksud dilakukan pada “seluruh” harta kekayaannya.
Ketika dikaitkan dengan tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang adalah tindak pidana korupsi, maka hampir bisa dikatakan “seluruh” harta kekayaan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menjadi tersangka tindak pidana tersebut disita oleh penyidik.
“Seolah-olah seluruh kekayaannya adalah hasil tindak pidana korupsi,” kata dia.
Diungkapkan, dalih yang yang sering didengar mengenai hal ini, utamanya oleh juru bicara KPK, jika nantinya pengadilan menyatakan barang-barang yang disita tersebut bukan hasil tindak pidana korupsi, dan karena tidak menjadi harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010, maka hal itu akan dikembalikan kepada yang bersangkutan.
“Selain itu, didalihkan pula bahwa, tindakan penyitaan dilakukan dalam rangka “pengamanan” jangan sampai harta kekayaan tersebut beralih kepada pihak ketiga, padahal diperlukan untuk mengganti pembayaran denda atau pidana uang pengganti yang tidak dibayar terdakwa atau terpidana,” kata Choirul Huda.
Menurutnya, hal ini menyebabkan “penyitaan” telah bergeser pada “penyanderaan” harta kekayaan tersangka atau terdakwa.
“Kesemua itu dilakukan tanpa undang-undang, “cuma bisa-bisanya” KPK. Mengingat kita semua telah “mempertuhan” KPK sehingga sepertinya tindakannya tidak pernah melawan hukum, kecenderungan praktek yang demikian menjadi seolah-olah benar adanya,” ucap dia.
Menurutnya, penyitaan adalah penyitaan, pembekuan adalah pembekuan, perampasan adalah perampasan. Ketiganya tidak boleh dipandang sama, dan karenanya juga tidak sama karena mempunyai ruang lingkup yang berbeda.
“Tindakan hukum yang disebut “penyitaan”, yang dilakukan terhadap harta kekayaan hasil tindak pidana, tetapi dijalankan sebagai bentuk “pembekuan” atau “penyanderaan” harta kekayaan tersangka, merupakan perbuatan melawan hukum oleh penguasa,” sebut Huda.
Pada gilirannya, ucap Huda, harta kekayaan yang demikian itu juga tidak dapat dijadikan objek pidana perampasan barang-barang tertentu. Mengingat hanya barang-barang yang disita saja yang seyogianya dirampas oleh negara.
Dia memaparkan contoh kasus terhadap Bahasyim, Djoko Susilo (khususnya harta kekayaan yang diperolehnya sebelum menjabat Kakorlantas), Akil Muchtar (khususnya harta kekayaan yang diperolehnya sebelum menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi), Anas Urbaningrum (khususnya harta kekayaan yang diperoleh sebelum menjadi anggota DPR RI) dll, yang kesemuanya merampas harta kekayaan “yang diduga” dari hasil tindak pidana korupsi dan bukan hasil tindak pidana korupsi.
“Kesemuanya itu dapat terjadi karena sebelumnya, sekalipun bukan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 KUHP, barang-barang tersebut telah dilakukan penyitaan oleh penyidik,” terangnya.
“Sepanjang pengamatan saya, baru putusan terhadap Syarifudin, yang didalamnya memerintah mengembalikan uang yang disita penyidik KPK tetapi bukan barang bukti suap yang diterimanya, itupun barang kali karena Syarifudin diadili oleh koleganya,” imbuh Huda.
Bagaimana pendapat dia soal kasus Dadang Suganda? Apa saja yang akan diungkapnya di depan majelis hakim PN Tipikor Bandung? Simak penjelasan Choirul Huda pekan depan!. Dud